Meet The Author

25 November, 2013

On 10:17 AM by Unknown in    No comments
Sekitar 10 tahun lalu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di kota Jakarta. Dua tahun setelah itu, akhirnya saya pindah menetap ke kota ini dan hingga akhirnya dinobatkan sebagai warga metropolitan. Mungkin untuk sebagian orang, Jakarta merupakan sebuah kota fantastis dan bahkan menakjubkan. Mengapa tidak? Karena disinilah, kita bisa menemukan semua hal yang diinginkan. Namun bagi saya, Jakarta itu ibarat sebuah kulkas besar, penuh, dan bau.
  jakarta-at-night


Kalimat pertama yang keluar dari mulut saya ketika sampai di Jakarta adalah “Jakarta gede banget!”. Ya, sebuah kota yang cukup besar untuk saya, yang saat itu berbadan mungil. Masih ingat dengan perkataan orang tua saya, mereka bilang kendaraan di Jakarta itu lebih banyak daripada orangnya. Dan memang benar, sepertinya hal itu sedikit terbukti meski sebenarnya penduduknyalah yang lebih banyak. Gedung-gedung tinggi dan berbagai mobil dari berbagai mereka selama 24/7 akan terus hinggap disini. Saya merasa kagum, mengingat tidak ada yang seperti ini di kota kelahiran saya.

jakarta-at-macet
Tapi, semakin kesini, kekaguman saya akan kota Jakarta nyaris menghilang sudah. Pertama adalah polusi, yang membuat saya merasa sedikit risih. Yang kedua adalah bising dan yang ketiga adalah macet. Bisa terbayang oleh anda sendiri, atau mungkin anda sendiri juga merasakan hal ini, perlu waktu sekitar satu hingga dua jam untuk berangkat ke kantor. Jelas, sangat repot dan tidak menyenangkan. Kata Nyaman sudah terhapus dari kota Jakarta. Cukup menggelikan sebenarnya, ketika ditanya oleh teman saya yang tinggal di luar pulau Jawa. Dengan jam kantor yang sama-sama di pukul 09.00 wib, mereka hanya butuh waktu paling lama setengah jam untuk sampai di kantor mereka. Sekedar info, dua jam itu merupakan perjalanan dari kampung halaman saya ke kota lain. Tidak untuk Jakarta, waktu selama dua jam hanya dihabiskan untuk pergi ke kantor. Spechless.
jakarta-at-busway jakarta-at-metro
Sudah pasti penyebab utamanya adalah macet. Semoga saja Gubernur Jakarta yang baru bisa menyelesaikan masalah ini. Ya, semoga. Bayangan warga Jakarta adalah ketika bangun pagi, mereka bisa merasakan hangatnya sinar matahari yang membelai tubuhnya, berjalan kaki atau bahkan bersepeda dengan santai ke kantor. Namun kenyataannya, ketika bangun pagi, sinar matahari itu berubah menjadi hangat dan semakin panas layaknya pemanas oven, duduk berjam-jam di bus tanpa AC dengan memegang sebuah kipas. Oh ya, belum lagi ditambah dengan suara klakson yang kejam. Tapi, warga Jakarta sudah terbiasa kok oleh hal seperti ini. Mereka cukup sabar, bukan?
jakarta-at-toilet
Jakarta, ibu kota Indonesia, metropolitan dan mewah. Tidak ada hal yang gratis disini, semuanya barus bayar. Bahkan wc umum saja harus bayar, meski bayarnya belakangan. Pokoknya, semua harus bayar, tidak ada yang gratis, kecuali ngamen. Sebenarnya, dari dulu punya impian buat ninggalin Jakarta, namun apa daya karena belum waktunya, saya terpaksa harus terus menikmatinya.
jakarta-at-sampah
Seperti judul artikel ini, Jakarta itu seperti sebuh kulkas besar yang penuh dan bau. Ada alasan mengapa saya membuat judul seperti ini, Jakarta dan kulkas punya beberapa kesamaan. Yang pertama adalah sama-sama penuh, kulkas punya banyak makanan, Jakarta punya banyak orang, banyak lapangan kerja, banyak pengganguran dan juga banyak setan. Jakarta bau, polusi udara dimana-dimana. Ditambah lagi dengan nafas naga khas politik yang sangatlah tidak segar. Kulkas pun demikian. Akan tetapi, cukup berbangga jadi orang Jakarta, karena kota kesayangan kita ini mirip dengan kota koboi di Amrik, yang bernama Texas. Di Texas, kita akan bertemu dengan banyak poster yang bertuliskan “Wanted, dead or alive.” Jakarta pun begitu, poster orangnya juga banyak, bedanya hanya di tulisan “PILIH SAYA”.
Semoga artikel ringan saya ini bisa membawakan kembali kenangan bagi anda yang saat ini telah “sukses” meninggalkan Jakarta. Dan untuk yang masih berada di Jakarta, nikmati saja. Bye.
Sementara itu mari kita nikmati beberapa spanduk "PILIH SAYA" yang demikian kocak dan menghibur.
jakarta-at-caleg jakarta-at-caleg2 jakarta-at-caleg3 jakarta-at-caleg4 jakarta-at-caleg5 jakarta-at-caleg6 jakarta-at-caleg7 jakarta-at-caleg8  jakarta-at-caleg10
Tulisan ini dibuat oleh seorang teman baik saya bernama Edel, menceritakan kerasnya kehidupan Jakarta dari sudut pandang seorang pendatang. Penulis adalah seorang pecinta dan pengamat dunia game online Indonesia dan saat ini aktif sebagai reporter sebuah portal game tanah air.  

0 comments:

Post a Comment